Minggu, 19 Juni 2011


PULAU WAWONII PERLU DIMEKARKAN UNTUK MENJADI DAERAH OTONOMI BARU (KABUPATEN KONAWE KEPULAUAN)
Disusun oleh : Usman Amir Abdullah Gafar

Pemberlakuan otonomi daerah merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta amandemen kedua tahun 2000 untuk dilaksanakan berdasarkan undang-undang yang dibentuk khusus untuk pemerintah daerah. UUD 1945 pasca-amandemen itu mencantumkan permasalahan pemerintah daerah dalam Bab VI yaitu pada Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B.
Pasal 18B ayat (1) menyebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan undang-undang. Pasal 18 ayat (2) menyebutkan pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Secara khusus pemerintah daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Namun karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah maka lahirlah aturan baru yakni Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan definisi otonomi daerah sebagai berikut :
Ø  Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Ø  Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri dan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Secara lebih khusus, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatur ketentuan mengenai pembentukan daerah dalam Bab II tentang pembentukan daerah dan kawasan khusus. Dapat dianalogikan juga bahwa pemekaran wilayah termasuk dalam ruang lingkup pembentukan daerah.  Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menentukan bahwa pembentukan daerah harus ditetapkan dengan undang-undang tersendiri yaitu pada Pasal 4 ayat (1), kemudian ayat (2) pada pasal yang sama menyebutkan sebagai berikut : Undang-Undang pembentukan daerah sebagaimana diatur pada ayat (1) antara lain mencakup nama, cakupan wilayah, batas wilayah, ibukota daerah pemerintahan, penunjukan pejabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan peralatan, dokumen serta perangkat daerah.
Legalisasi pemekaran wilayah dicantumkan pada Pasal 4 ayat (3) bahwa pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan, atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.  Dan selanjutnya pada Pasal 4 ayat (4) juga tercantum bahwa pemekaran daerah dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan.
Namun demikian untuk bisa membentuk suatu daerah otonomi baru maka ada beberapa syarat yang mesti dipenuhi yaitu syarat administratif, syarat teknis dan syarat fisik kewilayahan. Bagi provinsi syarat administratif yang harus dipenuhi adalah adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi bersangkutan. Persetujuan DPRD provinsi induk dan guberur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri. Sedangkan untuk kabupaten/kota syarat administratif yang mesti dipenuhi adalah adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota, dan bupati/walikota bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan gubernur serta rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri.
Selanjutnya syarat teknis untuk membentuk suatu daerah otonomi baru maka harus memenuhi beberapa aspek berikut ini :
Ø  Kemampuan ekonomi
Ø  Potensi daerah
Ø  Sosial budaya
Ø  Sosial politik
Ø  Kependudukan
Ø  Luas daerah
Ø  Pertahanan dan keamanan
Ø  Dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.
Pulau Wawonii berada dalam wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara Kabupaten Konawe. Luas wilayah daratan Pulau Wawonii adalah 86,761Km2. Wilayah tersebut terbagi menjadi 6 (enam) kecamatan dan kurang lebih 60 (enam puluh) desa/kelurahan.  Pulau Wawonii berada di perairan Laut Banda, dengan batas-batas wilayah sbb :
Ø   Sebelah Utara         : Kompleks hutan Lasalimu
Ø  Selatan Selatan      : Teluk Pasarwajo
Ø  Sebelah Barat          : Kompleks hutan Sampolawa
Ø  Sebelah Timur         : Teluk Pasarwajo atau Laut Banda
Jumlah penduduk Pulau Wawonii adalah 28.544 jiwa (data statistik dan kehutanan provinsi menurut angka tahun 2005-2006 hasil investigasi tanggal 14 juli 2008). Adapun suku yang mendiami Pulau Wawonii adalah :
Ø  Suku Wawonii
Ø  Suku Bajo
Ø  Suku Buton
Ø  Suku Tolaki
Ø  Suku Muna
Ø  Suku Bugis
Ø  Suku Menui
Ø  Transmigran Jawa & Bali.
Hampir 100% masyarakat Wawonii beragama Islam. Hanya pada warga transmigran Bali terdapat masyarakat yang memeluk Agama Hindu. Adapun mata pencaharian masyarakat Wawonii yaitu terdiri dari petani  60%, nelayan 20%, PNS 15% dan wiraswasta 5%.
Pulau Wawonii memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah mulai dari sumber daya pertanian (kelapa, cengkeh, coklat, padi, dll), sumber daya kelautan (ikan tuna, ikan cakalang, kepiting, udang, mutiara, kerang, dll.) dan sumber daya pertambangan (emas, nikel, kromit, pasir besi, dll.). Jika potensi SDA Pulau Wawonii dikelola secara arif, dan profesional oleh masyarakat dan pemerintah kemungkinan untuk terjadinya kemiskinan akan minim, namun realitasnya justru SDA tersebut kurang memberikan kontribusi positif untuk kemajuan masyarakat tetapi malah berorientasi pada penumpukan kekayaan oleh para investor pertambangan serta para elit politik yang memiliki kepentingan di Pulau Wawonii.
Sumber daya manusia yang ada di Pulau Wawonii berdasarkan strata pendidikan untuk jenjang professor belum ada namun untuk jenjang doktor, master dan strata satu sudah banyak.  Hal ini juga didukung oleh besarnya partisipasi masyarakat untuk bersekolah baik di jalur swasta maupun negeri.
Eksistensi perusahaan tambang di Pulau Wawonii (PT. Bumi Konawe Minning, PT. Gema Gresia Perdana, PT. Konawe Bhakti Pratama, PT. Derawan Pasir Berjaya Minning, PT. Mineral Energi Indo dan PT. Antam Tbk.) kurang mampu memberikan kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat kelas bawah dan menengah. Yang menikmati hasil pertambangan di Pulau Wawonii adalah para investor pertambangan dan para kalangan elit (pemerintah dan pengusaha) hal ini tentu sangat berkontradiksi dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 33 yang menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Selain itu dengan adanya eksplorasi bahkan kalau sampai tingkat eksploitasi perusahaan tambang terhadap sumber-sumber pertambangan di Pulau Wawonii akan mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan yang pada akhirnya sistem ekologi akan rusak dan masyarakat akan senantiasa menderita dengan hal ini.
Kebijakan Pemerintah Kabupaten Konawe secara rill kurang begitu signifikan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat, hal ini dapat diketahui berdasarkan hasil pembangunan yang ada di Pulau Wawonii baik pembangunan sarana transportasi, infrakstruktur pemerintahan maupun bantuan ekonomi bagi rakyat miskin. Akhirnya realitas tersebut senantiasa berimplikasi negatif dalam kehidupan masyarakat Wawonii, dimana masyarakat Wawonii merasa terdiskriminasi dengan kebijakan Pemerintah Kabupaten Konawe yang terkesan mendikotomi masyarakat di daratan Konawe dan di Pulau Wawonii.  Sungguh ironis jika suatu daerah yang sudah lama bernaung dalam suatu kabupaten tidak pernah mendapatkan keadilan dalam hal pelayanan publik dari pemerintahnya.  Jadi tidak ada solusi lain bagi masyarakat Wawonii selain memekarkan daerahnya menjadi sebuah kabupaten!.  Pemekaran suatu daerah menjadi daerah otonomi baru akan mewujudkan terciptanya akselerasi pembangunan di daerah tersebut karena dengan pemekaran pelayanan publik akan semakin efektif, iklim investasi akan menjadi lebih baik, masyarakat secara mandiri dapat mengelola sendiri SDA dan SDM yang mereka miliki yang pada akhirnya akan bermuara pada kesejahteraan masyarakat.
Aset-aset penting yang dimiliki Pulau Wawonii jika sudah menjadi daerah otonom baik dari segi pertanian, kelautan, pertambangan dan pariwisata akan senantiasa menjadi devisa penting dan pendorong akselerasi pembangunan. Selain itu, masyarakat juga dapat mengaktualisasikan kreatifitasnya sebagai manifestasi dari kemandirianya untuk membangun dan mengelola daerahnya agar mencapai kemajuan sebagaimana yang diharapkan oleh undang-undang.
Untuk masalah syarat pemekaran wilayah, Pulau Wawonii telah memenuhi syarat-syarat tersebut baik itu syarat administratif, syarat teknis maupun syarat fisik kewilayahan.  Adapun syarat administratif tersebut adalah adanya keputusan DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara dan keputusan DPRD Kabupaten Konawe, keputusan Gubernur Sultra, dan Bupati Konawe, serta rekomendasi dari Mendagri. Syarat teknis terdiri dari faktor-faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial politik, sosial budaya, kependudukan, luas daerah, kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali pemerintahan. Sedangkan syarat kewilayahan meliputi adanya cakupan wilayah, calon ibukota, dan prasarana pemerintahan. Untuk cakupan wilayah terdiri dari 6 (enam kecamatan), calon ibukota adalah Kecamatan Wawonii Barat.
 Namun meskipun demikian, ini belum menjadi jaminan yang pasti untuk bisa mekar menjadi daerah otonomi baru karena Presiden SBY telah menyarankan agar dilakukan moratorium pemekaran daerah, artinya, usulan pembentukan daerah otonom baru untuk sementara harus dihentikan sambil menunggu evaluasi lebih lanjut guna melihat efektifitas dan produktifitas pemekaran daerah di Indonesia.  Menurut presiden, dari 205 daerah baru hasil pemekaran, 80% gagal menjalankan tugasnya. Namun sejauhmana moratorium yang dikumandangkan presiden akan efektif membendung laju pemekaran daerah ?
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat untuk tetap melanjutkan moratorium pemekaran daerah. Karena sebagian besar daerah pemekaran dinilai gagal mendongkrak kesejahteraan penduduknya. Pemerintah, dalam hal ini diwakili Presiden SBY menyatakan bahwa kedua belah pihak menyepakati bahwa moratorium yang masih berlaku sekarang dipertahankan seraya menuntaskan kebijakan pemekaran lebih lanjut. 
Presiden juga mengatakan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun terakhir lahir 205 daerah pemekaran baru. Sebagian besar dari dearah pemekaran tersebut dinilai tak membawa hasil memuaskan. Diperkirakan 80 persen daerah pemekaran kurang berhasil mensejahterakan masyarakatnya.
Pemerintah menurut Presiden telah membuat grand design pemekaran daerah. Dari grand design tersebut akan diketahui berapa jumlah daerah yang tepat untuk Indonesia. Grand design tersebut akan dibahas Pemerintah bersama DPR dalam watu dekat secara lebih mendalam.
Bukan hanya gagal dimata Pemerintah pusat, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) – pun menilai program pemekaran daerah belum memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan daerah hasil pemekaran dan wilayah sekitarnya. Hasil pemeriksaan terhadap program yang telah dicanangkan sejak 1999 itu menunjukkan sebagian besar daerah otonomi baru gagal memenuhi kewajibannya selama masa transisi pemerintahan dari daerah induk. Kondisi ini diperkuat dengan indikator kinerja, seperti aspek kesejahteraan, belanja modal, dan jumlah ketersediaan dokter masih di bawah rata-rata nasional seluruh kabupaten dan kota di Indonesia.
Dokumen ikhtisar hasil pemeriksaan sementara BPK semester kedua 2009 menyebutkan, masalah lain terkait pengalihan fisik aset tidak didukung dengan berita acara pelimpahan dan dokumentasi yang memadai sehingga di beberapa daerah otonomi baru menimbulkan sengketa aset dengan daerah induk. Selanjutnya, pengaturan batas wilayah belum diatur secara tegas dan formal dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. Akibatnya muncul sengketa daerah perbatasan pada daerah otonomi baru dengan daerah induknya. Terakhir, semua daerah otonomi baru ternyata juga belum dilengkapi sarana dan prasaran yang memadai, dan pengisian personil masih belum sesuai kualifikasi. Belum lagi masalah pengalihan ibukota induk yang wilayah geografisnya berada di daerah otonomi baru.
Atas permasalahan itu, BPK merekomendasikan kepada Menteri Dalam Negeri agar segera melaksanakan evaluasi penyelenggaraan pemerintah daerah. Hasilnya diharapkan menjadi bahan pembinaan dan pengawasan serta berkoordinasi dengan kepala daerah induk dan kepala daerah otonom baru. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa pemerintah sebenarnya sudah bertekad mengerem laju pemekaran daerah. Tapi masalahnya justru di Dewan yang ingin terus daerahnya dimekarkan. Oleh sebab itulah masalah Moratorium ini sampai saat ini tidak pernah tuntas dan direalisasikan.
Pembahasan tentang pemekaran di DPR sempat terhenti selama masa pemilu tahun 2009, namun gerilya politik untuk melahirkan daerah baru terus berlangsung di banyak daerah. Gerilya politik semacam itu juga berlangsung di DPR dan di Kementerian Dalam Negeri. Ada ratusan daerah baru yang sudah berancang-ancang untuk memisahkan diri dari induknya. Selama ini proses pembentukan daerah sudah diatur ketat dengan Peraturan Pemerintah yaitu PP No. 129/2000 yang kemudian diganti dengan PP No.78/2007.
Syarat pembentukan daerah baru adalah administratif, teknis, dan kewilayahan. Syarat administratif adalah Keputusan DPRD, Keputusan Kepala Daerah serta Rekomendasi Mendagri. Syarat teknis terdiri dari faktor-faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial politik, sosial budaya, kependudukan, luas daerah, kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali pemerintahan. Sedangkan syarat kewilayahan meliputi adanya cakupan wilayah, calon ibukota, dan prasarana pemerintahan.
Semua persyaratan itu harus dituangkan ke dalam atau menjadi lampiran dari dokumen yang disebut Kajian Daerah. Masalahnya, banyak dokumen kajian daerah yang dikerjakan asal-asalan saja. Data tidak akurat. Analisis dan argumen juga sangat lemah. Anehnya, usulan pemekaran daerah dengan dokumen pendukung yang sangat lemah dan amburadul pun ternyata tetap lolos ke Jakarta dan akhirnya masuk dan dibahas di DPR sehingga lahirlah Undang-Undang Pembentukan Daerah.
Kita tidak bisa memahami semua proses ini hanya dari pendekatan politik formal belaka. Proses pengusulan daerah baru lebih banyak terjadi secara ekstra parlementer. Kekuatan penting yang seringkali menjadi andalan para pengusul dari daerah adalah lobby. Tentu saja bukan lobby sembarang lobby, tetapi lobby dengan embel-embel dukungan sumber dana yang mencapai miliaran rupiah. Masyarakat suatu daerah yang diwakili para tokohnya rela mengumpulkan uang belasan miliar rupiah dari berbagai sumber untuk sekadar ‘membeli’ Undang-Undang Pembentukan Daerah. Tentu saja bukan UU-nya yang mahal, tetapi proses sampai ke UU itulah yang harus diperjuangan dengan susah payah dan biaya mahal. :(
Nah bagaimanakah ekspektasi masyarakat Pulau Wawonii dengan kebijakan moratorium yang dikeluarkan oleh pemerintah?. Ini penting untuk dijawab mengingat jangan sampai ada masyarakat yang memekarkan daerahnya menjadi daerah otonomi baru secara asal-asalan tanpa melihat kelayakan daerahnya untuk dimekarkan. Namun menurut saya memang Pulau Wawonii perlu sekali untuk dimekarkan mengingat kondisi rill yang ada di Pulau Wawonii sungguh memprihatinkan jika kita berbicara dalam konteks pembangunan apalagi masyarakat Wawonii sudah memenuhi syarat-syarat pemekaran wilayah, tapi meskipun demikian, jika ini tidak diperkuat oleh kekuatan lobby di DPR hal ini bisa saja lemah. Olehnya itu masyarakat Wawonii perlu bersatu untuk mempresur pemerintah dan DPR baik itu secara materi maupun non materi supaya ekspektasi masyarakat untuk mewujudkan Kabupaten Konawe kepulauan bisa terealisasi.


.